Dari aspek kesejahteraan pun merokok lebih banyak mendatangkan keburukan daripada manfaatnya.
Zat adiktif nikotin dalam rokok menyebabkan ketagihan karena rokok bersifat candu yang sulit dilepaskan dalam kondisi apapun. Seorang perokok berat akan memilih merokok daripada makan jika uang yang dimilikinya terbatas.
Kemudian harga rokok yang mahal akan sangat memberatkan orang yang tergolong miskin, sehingga dana kesejahteraan dan kesehatan keluarganya sering dialihkan untuk membeli rokok. Rokok dengan merk terkenal biasanya dimiliki oleh perusahaan rokok asing yang berasal dari luar negeri, sehingga uang yang dibelanjakan perokok sebagaian akan lari ke luar negeri yang mengurangi devisa negara. Pabrik rokok yang mempekerjakan banyak buruh tidak akan mampu meningkatkan taraf hidup pegawainya, sehingga apabila pabrik rokok ditutup para buruh dapat dipekerjakan di tempat usaha lain yang lebih kreatif dan mendatangkan devisa.
Di negara maju, tingkat kematian akibat tembakau diproyeksikan menurun. Tapi, di negara berpendapatan menengah dan rendah, kematian akibat merokok justru akan meningkat.Yang memprihatinkan saat ini Indonesia belum juga meratifikasi Framework on Convention Tobacco Control/FCTC dan menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara yang belum meratifikasi FCTC tersebut. Sementara itu, konsumsi rokok di Indonesia terus meningkat karena harga riil rokok stabil dan harganya sangat murah dibandingkan harga rokok di negara Asia Tenggara lain.
Kerugian merokok telah berulang kali dipaparkan berbagai kalangan. Antara lain merokok dapat mengurangi kinerja fungsi tubuh yang mengakibatkan produktivitas menurun. Selain itu juga menyebabkan kematian pada usia produktif. Hal itu berarti hilangnya pendapatan, tabungan dan hilangnya investasi yang telah dilakukan. Kematian dini pada orangtua menurunkan partisipasi sekolah anak-anaknya. “Orang yang berusia 40 tahun meninggal dunia, kemungkinan besar anak-anaknya tidak bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi,” kata Sri Moertiningsih.Yang memprihatinkan lagi, pengeluaran rumah tangga untuk rokok terbilang besar yaitu 11,5 persen, sedangkan untuk membeli beras hanya 10,5 persen, untuk membeli daging, ikan, susu dan telur 11 persen, sedangkan untuk kesehatan hanya 2,3 persen dan untuk pendidikan hanya 3,2 persen. Artinya merokok lebih penting dibandingkan pendidikan anak-anak dan kesehatan keluarga.
Sangat ironis, karena kecanduan rokok ini lebih banyak terjadi di kalangan ekonomi bawah. Para pedagang di pasar, preman, kondektur, supir angkutan umum, tukang ojek hingga tukang becak, lebih memilih membeli rokok ketimbang mengumpulkan dan menyimpan uang yang susah payah didapatnya sehari itu untuk kebutuhan hidupnya bersama keluarganya. Aneh sekali jika mereka mengatakan “untuk kebutuhan sehari-hari saja susah sampai harus mengemis” tetapi sering sekali mereka terlihat asyik merokok tanpa peduli dengan keluarganya yang sedang menanti nafkahnya.
Padahal, merokok merupakan kegiatan bodoh yang dilakukan manusia yang mengorbankan uang, kesehatan, kehidupan sosial, persepsi positif, dan lain sebagainya.
Jika begini kondisinya, bagaimana perekonomian kita bisa terangkat kalau rakyatnya lebih senang mengisap barang yang tidak ada manfaatnya untuk meningkatkan derajat ekonominya, daripada fokus mencari peluang usaha yang bisa mengangkat kualitas hidupnya?
Fakta ini, bukankah menjadi cukup bukti untuk mengharamkan rokok? Haram karena “useless” atau tidak berguna dan banyak bahayanya.
Cek sumbernya :
- Klik Dokter
- Halal Guide
- Tuntunan Sunnah
Bagaimana menurut Anda?
Oya? Maaf baru dibalas. Kapan ya kak?