Ceritanya makin seru nih…ikuti lanjutannya yok…
Februari 1989
Seekor kucing hitam menyelinap pagar masuk pekarangan Mess. Badannya kurus. Bulu-bulunya yang basah semakin menampakkan benjolan tulang punggungnya. Hujan sejak sore tadi memaksanya mencari tempat berteduh. Ia menggosokkan kepalanya pada kaki meja, lalu mengeong menatap sendu, seolah meminta izin sekadar mengeringkan badan.
“Kita senasib, berteduhlah”.
Ia kembali mengeong. Kali ini dengan manja ia gosokkan kepalanya ke betis kakiku, sebelum kemudian menggeloyor ke pojok tembok, merebahkan badannya, melingkar, merapatkan mata, menunggu hujan reda.
Aku belum mau beranjak masuk ke dalam, memilih duduk di kursi teras mengeringkan badan. Saat keluar pulang jam 4 sore tadi dari Pabrik, hujan belum turun, aku belum terbiasa membawa payung, hujan tiba-tiba mengguyur. Suasana baru selalu membutuhkan penyesuaian.
Ini hari ketiga aku tinggal di Mess. Jumat minggu lalu Bu Haji memberi tahu, aku diterima sebagai karyawan Pabrik Radar Jaya Offset yang dipimpinnya, dan bisa langsung masuk kerja per hari Senin. Gaji awalku Rp 80.000,-, dengan uang makan Rp. 1.000,-/hari. Bagiku, ini kenaikan penghasilan yang sangat besar, dibanding saat menjadi pedagang asongan, yang kutinggalkan “berkat” si maling sontoloyo itu. Kini aku malah harus mensyukurinya.
Minggu depan, mestinya Bapak dan Mimih sudah akan tersenyum lebar membaca kiriman surat yang kukirim melalui pos Senin lalu. Kukabarkan berita gembira ini dengan penuh suka cita. Aku tak sabar mengundang Bapak dan Mimih datang ke Jakarta, agar menyaksikan kini anaknya benar-benar bekerja.
Perusahaan menyediakan Mess, rumah dua lantai berjarak kurang lebih 3 KM dari Pabrik yang terletak di daerah Duri Pulo, Jakarta Pusat. Lantai bawah untuk kantor, meski lebih mirip gudang, tempat menyimpan stok buku yang menunggu dipasarkan.
Di lantai atas ada dua kamar, tapi khusus buat mandor kepala, Om Ajo, dan karyawan senior lainnya, Uda Ismed. Sudut pojok belakang difungsikan sebagai “ruang penitipan” barang milik bersama. Urusan tidur, enam karyawan lainnya, termasuk aku, harus rela berbagi “ruang keluarga” menjadi kavling sayap kiri dan kanan, dengan alas tikar atau kasur seadanya.
Uda Yahya berbaik hati membeli kelambu besar, untuk dipakai bersama. Tapi, entah dari mana pintu masuknya, di pagi subuh, biasanya nyamuk sudah ikut tidur bersama, “Perutnya gemuk”, Uda Yahya senang bercanda.
Keluar masuk ke lantai dua menjadi saat yang paling membuat tidak nyaman. Satu-satunya akses masuk adalah melalui lorong samping. Gelap dan lembab akibat jemuran basah aneka pakaian yang bergelantungan. Khusus pakaian dalam, kadang dijemur di genteng luar. Matahari menyengatnya segera.
Percik air hujan di jalanan mengembalikan sejumlah ingatan.
“Kamu mahasiswa di kampus mana?”. Dua minggu sebelumnya, Pak Haji menginterogasi. Logat Padangnya masih kental. Ia adalah pemilik Perusahaan Penerbit Kalam Mulia, yang juga membawahi Pabrik Percatakan Radar Jaya Offset, yang kantornya itu-itu juga. Pak Haji lebih sering berkantor di rumahnya, di Jalan Koto Baru, beberapa ratus meter dari Mess.
Belum sempat aku menjawab, Pak Haji melanjutkan, nadanya lebih meninggi.
“Saya kan membutuhkan calon editor bahasa Arab yang kualifikasinya minimal mahasiswa tingkat akhir, karena tugasnya berat, memeriksa dan mengoreksi semua bacaan teks Arab, termasuk al-Quran, sebelum naik cetak. Kamu apa mampu? Saya tidak mengerti, kenapa ada calon yang belum kuliah tapi bisa lolos tes tahap wawancara untuk posisi ini?”
Aku mengulum senyum, pasti gadis yang kutemui saat itu sudah melaksanakan tugasnya dengan baik.
“Saya belum kuliah, Pak Haji, baru merencanakan ingin daftar tahun ini”, aku berusaha bersikap sesopan mungkin.
“Pak Haji pikir gampang kuliah?” lanjutku, menggerutu dalam hati. “Aku sudah lebih dari setahun memendam tekad agar bisa kuliah. Aku nekad melawan kehendak Bapak, bahkan kabur dari pesantren, berkorban rasa menjadi pedagang asongan, semua itu aku lakukan supaya bisa kuliah. Aku sangat optimis bisa menabung, sampai saat ketika si maling sontoloyo itu menggasak gendongan rokokku, dan mengendorkan semangat hidupku. Aku melamar pekerjaan ini agar bisa kuliah! Pak Haji harus paham itu”.
“Saya siap memberikan yang terbaik untuk tugas itu, Pak Haji”. Aku berusaha antusias, tetap dengan lebih sopan, kali ini bahkan agak menundukkan badan. Mataku masih bisa mengintip papan tulisan di atas meja: Haji Bakar Ibrahim.
Konon, kunci keberhasilan melewati tes wawancara itu bukan semata kualifikasi, pengalaman kerja, atau keterampilan, yang terpenting justru bahasa tubuh dan kepribadian. Sang pewawancara tidak jarang sudah mengambil keputusan, ketika ia merasa nyaman dengan sikap awal, antusiasme, dan kepribadian yang diwawancarai, bahkan ketika skor angka belum dibuat.
Satu bulan lalu aku juga mendapat nasihat berharga dari A Ihin.
“Mang Encép memiliki kemampuan bahasa Arab di atas rata-rata. Tugas sebagai editor bahasa Arab itu pasti perkara mudah, tapi untuk bersaing dengan calon-calon lain yang rata-rata berstatus mahasiswa, harus ada nilai lain yang ditonjolkan”. A Ihin menyemangatiku, ketika aku meminta pendapatnya soal rencana melamar lowongan kerja di Penerbit Kalam Mulia.
Ya, lowongan kerja. Aku tanpa sengaja menemukan informasi lowongan kerja itu dalam sobekan iklan koran di salah satu warung tempat aku menitipkan permen, profesi baru yang aku jalani setelah pensiun sebagai pedagang asongan.
Aku kapok menjajakan rokok, penghasilannya tidak sebanding dengan kesulitan-kesulitan di lapangan, apalagi kalau harus berhadapan dengan maling atau preman di Tanah Abang. Kuputuskan membeli sekaleng besar permen jahe, kutitipkan di beberapa warung terdekat, dengan sistem konsinyasi, dibayar hanya sejumlah yang terjual. Memadai? Tentu saja semua orang sedunia tahu, usaha itu jelas lebih tidak mencukupi, tapi aku butuh status bekerja, menjaga harga diri, tidak berpangku tangan menumpang makan dan mandi.
DICARI, EDITOR BAHASA ARAB. DISEDIAKAN: GAJI, UANG MAKAN, DAN PENGINAPAN!
Tulisan bercetak tebal di iklan koran itu memacu adrenalinku. Ini kesempatan mengubah nasib!
Esoknya kuputuskan mendatangi alamat yang tertera: Jl. Mandioli Dalam No. 13, Cideng, Jakarta Pusat. Di sini kujumpai Kantor, gudang, dan sekaligus Mess karyawan. Ini terjadi dua bulan setelah aku kehilangan gendongan rokok di mushallanya Mang Ujang. Aku bersikukuh tidak ingin pulang ke kampung halaman, lebih memilih menjajakan permen sambil berharap peluang lain datang.
“Mas bener pernah mesantren?” gadis yang menerima berkasku masih penasaran. Ujung rambut panjangnya terjuntai ke depan. Usianya pasti tidak lebih dari 3 tahun di atasku.
“Iya. Saya hampir lima tahun belajar bahasa Arab di pesantren”
“Lima tahun? Saya satu tahun saja tidak kerasan, Mas”, ia seperti menertawakan diri sendiri, sambil menyebut salah satu nama Pesantren Putri di Padang Panjang tempatnya belajar.
“Berarti bahasa Arabnya jago dong, Mas?”
“Boleh dicoba. Saya biasa menghapal kitab-kitab nahwu sharaf, membaca Arab gundul, membetulkan bacaan yang salah”, sambil aku sebutkan beberapa nama kitab yang sejak di pesantren aku hapal di luar kepala. “Saya siap dites sekarang juga”.
“Tidak lah, Mas. Meski hanya setahun di pesantren, tapi saya tahu, pengetahuan nahwu sharaf itulah yang paling dibutuhkan oleh kantor kami saat ini”. Mataku mulai berbinar penuh harapan.
“Tapi bagaimana yah?” raut wajahnya mengerut. Kuperhatikan ujung jari tangannya mengetuk-ngetuk meja, “Untuk posisi ini syarat minimalnya mahasiswa, Mas, dan sekarang sudah ada 4 berkas yang masuk, semuanya mahasiswa tingkat akhir, satu bahkan sudah lulus dari IAIN Ciputat”.
“Apakah mereka juga lulusan pesantren khusus bahasa Arab?” aku berniat bernegosiasi.
“Nah itulah, di biodatanya tidak ada, hanya disebutkan mereka pernah belajar bahasa Arab”
“Kalau begitu, sebagai alumni pesantren, Uni bisa memberi pertimbangan ke pimpinan, mana yang lebih cocok menjalankan tugas itu”, aku merasa di atas angin, kuberi ia tugas terselubung.
Hujan mulai reda, lembayung bergelantungan, langit kembali cerah, memerah pertanda senja segera menyapa. Kucing hitam itu menggeliat, merenggangkan kaki-kakinya, mengelap tubuhnya dengan lidahnya yang mungil. Ia beringsut perlahan, sejenak manja mengosok-gosokkan badannya di kakiku, lalu beranjak berpamitan, mungkin untuk melanjutkan mencari makan.
Masih terbayang di ingatan, alih-alih mewawancarai, Pak Haji malah ikut geram pada maling gendongan rokok, saat pengalaman itu aku ceritakan. “Kamu hebat, seperti orang Minang, senang mengembara, dan bertahan hidup di negeri seberang”. Mungkin dongeng itu juga yang ia ceritakan ulang ke Bu Haji.
Kalian tak perlu ikut geram. Kini aku baru menyadari, maling itu mungkin memang utusan Tuhan untuk mengakhiri profesiku yang “mismatch” dengan ilmu dari pesantren, tidak cocok, tidak nyambung, dan yang pasti secara finansial tidak menjanjikan.
Sebuah iklan koran telah mengubah harapan, lebih yakin menatap masa depan. Masih ada kurang lebih 120 hari sebelum pendaftaran mahasiswa baru IAIN Ciputat benar-benar ditutup. Pokoknya, lusa, di bulan September 1989, aku akan pamerkan jaket mahasiswa ke Bapak dan Mimih!
Bersambung…
Gambar: kitalulus.com
Oya? Maaf baru dibalas. Kapan ya kak?