Cerbung Dongeng Si Encep Episode 6: Akan Kadaluwarsa!!
Sudah sampai Episode 6 nih… jangan lupa share komentarnya ya…
Agustus 1989
Suara mesin cetak sahut-sahutan berirama. Bunyinya menderu memekakkan telinga. Satu mesin membuat bising, apalagi tiga. Suaranya terdengar sampai ke lantai dua. Tapi, kebisingan itulah yang justru membuat para pekerja di lantai satu bahagia dan bersukacita. Dalam tiga bulan belakangan, permintaan pencetakan buku meningkat tajam.
Ini hari Senin. Masih jam kerja. Aku turun menapaki tangga, ingin sekadar merenggangkan kaki, pikiran agak kosong melayang. Aku menarik napas panjang, mencoba menata hati. Minggu sore kemaren, kakakku, A Dudung, datang ke Mess. Jam sepuluh malam baru tiba. Tidak seperti biasanya, Bus “Luragung Jaya” yang terkenal cepat, malam tadi mogok tersendat belum jauh dari Terminal Kuningan.
“Bapak dan Mimih senang menerima kabar darimu, Ncep. Mereka sangat bangga”. A Dudung mengabarkan, dalam bahasa Sunda.
Jaketnya belum juga dilepas, senyumnya terus merekah, mengusir kesan letih di wajah. Tangannya sibuk mengeluarkan leupeut, kowecang, ketempling, papais monyong, dan telor asin dari tas yang digendongnya.
“Pasti Mimih yang membekalinya telor asin”, pikirku. Kata Mimih, telor asin praktis, bekal ampuh dalam setiap perjalanan jauh. Itu sudah kebiasaan yang aku ingat sejak kecil.
“Bapak dan Mimih belum bisa nengok kamu, Ncep. Katanya bulan depan saja kalau kamu sudah mulai kuliah, biar sekalian tasyakuran”.
Duggg! Jantungku berdegup. Di suratku beberapa bulan lalu, aku memang mengabarkan, kemungkinan di tahun ajaran baru bulan September ini aku sudah akan mulai kuliah. Aku membayangkan, ketika membacanya, Bapak dan Mimih sudah pasti sumringah.
“Aku sudah mengusahakannya, A, tapi Pak Haji tidak mengizinkan”. Aku menahan napas, darah terasa mengalir lebih cepat. Kepalaku tertunduk, butir airmata menyeruak memaksa ingin keluar.
“Ada apa, Ncep?” A Dudung bertanya, wajahnya menyimpan kepenasaran tingkat tinggi. Ia sudah bersusah payah menyempatkan waktu, pulang dari Subang tempatnya tinggal, ke Kuningan semata menemui Bapak yang kemudian menugaskannya berangkat ke Jakarta menemuiku.
Untuk urusan itu aku tidak khawatir. Kakakku yang satu ini tangguh. Ia bahkan pernah bersepeda ke Semarang, dua hari dua malam, juga karena berjuang ingin kuliah. Konon, untuk mencari nafkah, ia menjadi tukang cukur.
“Koq wajahmu mendadak kusut begitu? bukankah di surat kamu bilang bahwa Pak Haji sangat mendukung kamu untuk melanjutkan kuliah setinggi-tingginya?”
Aku menggeleng resah, tidak menjawab, bibirku terkatup, butir air mata mendesak menyeruak keluar. Ujung jariku berpura-pura menyentuh oleh-oleh khas Kuningan yang dibawanya. Pikiranku melayang tertuju pada pertemuan dengan Pak Haji tiga minggu lalu.
Aku seharusnya tahu, Pak Haji akan sangat tergantung pada proses editing teks-teks Arab pada semua buku dan mushaf al-Quran yang akan diterbitkan dan dicetaknya. Mana ada bos perusahaan yang mau melepaskan karyawan yang sedang amat sangat dibutuhkannya? Bukankah gadis berambut panjang waktu itu juga sudah mengingatkan bahwa kantor ini sedang membutuhkan karyawan yang memiliki pengetahuan bahasa Arab yang baik, khususnya nahwu sharaf?
“Saya kan tidak pernah bilang akan melarang kamu kuliah. Tapi tidak tahun ini!”, sergah Pak Haji, ketika aku mengajukan keberatan atas kebijakannya tidak mengizinkanku untuk mendaftar kuliah.
“Sejak kamu bekerja, permintaan untuk mencetak buku-buku agama meningkat. Mereka merasa puas karena tidak ada bacaan Arab yang keliru. Kamu editor Arab yang handal. Kamu juga secara sukarela ikut mengoreksi kekeliruan lainnya dalam setiap buku. Bahkan, sekarang ada permintaan mencetak mushaf al-Quran. Jangan lupa, hanya kamu di kantor ini yang bisa melakukan pekerjaan itu!”.
Besoknya, uang makanku ditambah, naik seribu rupiah.
Entah apakah aku harus merasa berbahagia dan tersanjung mendengar penjelasan dan sikap Pak Haji itu, atau harus bersedih karena ini artinya impian untuk daftar kuliah terkubur lagi.
Pak Haji bersikukuh. Ia tak lama menjumpaiku, katanya sedang terburu-buru mau ke dokter gigi, peradangan di gusi yang sudah lama dideritanya semakin parah.
Sejak itu pikiranku gundah. Sekarang ini, teman-teman seangkatanku di MAN Cipasung pasti sudah mau memasuki semester lima. Mereka niscaya sering asyik berdiskusi, beradu argumen, tertawa saling bercengkerama. Aku? Bakalan kuliah pun belum tentu kesampaian. Aku semakin ketinggalan saja.
“Kamu nanti mau ambil kuliah jurusan apa?”, tanya Wiwi.
Ia beda jurusan, anak Biologi, aku di jurusan Agama. Namanya terpampang dalam kertas pengumuman penerima program Penelusuran Minat dan Bakat (PMDK), persis satu baris di atasku: Wiwi Siti Syajaroh. Kami beruntung, diundang masuk kuliah di Institut Agama Islam (IAIN) Bandung, tanpa proses seleksi.
Wiwi dikenal sebagai bintang di kelasnya. Pelajaran oke, memainkan rebana pun jago. Kami sama-sama aktif di Pramuka, aku ketua Pradana, Wiwi ketua Pradani. Di masa kami, MAN Cipasung berjaya sebagai juara umum di Perkemahan Pramuka Madrasah se-Tasikmalaya (Permalitas). Waktu itu diselenggarakan di Suryalaya. Aku ikut menjuarai lomba pidato. Kami bersama-sama mengangkat piala.
“Aku mau masuk jurusan bahasa Arab saja, biar gak ada Matematikanya”, jawabku sekenanya. Sebagai juara kelas, aku penuh percaya diri.
Itu dua tahun lalu, sebelum Bapak berterus terang bahwa ia hanya mampu menyekolahkan kesembilan anaknya sampai tingkat SMA saja. Soal kuliah, terserah masing-masing. Kalau ada nasib, syukur, kalau tidak, jadi guru ngaji saja tidak apa.
“Gaji Bapak sebagai penilik agama terbatas. Bahkan kalau ditambah uang pensiun veteran pun, tidak mungkin mencukupi”, katanya. Bapak menyerah!
Subuh pagi-pagi, A Dudung bergegas pamit. Ia harus mengejar jam kantor. Sebelum tidur, tadi malam ia menyerahkan draft naskah buku karangannya. Ia minta agar buku itu diusulkan ke Pak Haji untuk diterbitkan.
Kubuka amplop coklat yang membungkusnya, kubaca judulnya: “Kunci Puasa Menuju Taqwa”, banyak teks al-Quran dan hadis di dalamnya. Kuterkejut membaca nama pengarangnya:
Drs. Dudung Abdullah Harun
Moch. Oman Fathurahman HS
Astaghfirullah. Bahkan, ia pun memberiku tambahan tugas yang tidak mungkin kutolak, dan memaksaku untuk tinggal lebih lama sebagai karyawan!
=====
Suara ketiga mesin cetak itu masih menderu berseru-seru. Aku berkeliling menyapa teman-teman buruh pabrik. Sebentar lagi jam istirahat, kami akan bergegas ke warteg untuk menyantap makan siang, dilanjut menghisap sebatang rokok, shalat, dan beberapa menit mungkin rebahan memejamkan mata. Rutinitas harian
“Kayaknya harus lembur ya, Mas Yono!”, aku setengah berteriak melawan suara. “Naskah dari atas sudah rapih, sedang proses bikin plat”. “Atas” yang kumaksud adalah lantai dua, ruang tempatku bekerja memeriksa dan mengoreksi semua bacaan teks Arab yang akan naik cetak.
“Siaaap”. Ia tak banyak bicara. Lembur berarti bertambah penghasilan, sesederhana itu kebahagiaan kami, para buruh pabrik dan karyawan Penerbit.
Senyum Mas Yono mengembang. Ia harus menjaga konsentrasi. Lima bulan lalu ia lalai. Jarinya kejepit masuk ke dalam gerigi ketika mesin masih menyala. Beruntung mesin segera dimatikan. Pekerjaan apapun selalu mengandung risiko. Hati-hati adalah kunci.
Ukuran mesin cetak buku itu lumayan besar. Bagian belakangnya cukup untuk duduk orang dewasa, di situlah bertumpuk kertas putih berukuran kurang lebih satu meter persegi masih kosong tanpa aksara, selembar demi selembar ia antri naik masuk ke dalam putaran mesin. Beberapa detik kemudian, lembaran kertas-kertas itu menyelinap bergumul dengan tinta, keluar dari ujung satunya dengan penampakan baru, dipenuhi teks tercetak dalam berbagai bahasa, Latin dan Arab, sesuai yang tertulis di plat cetak berwarna keabu-abuan yang tertempel kuat di dalam rongga mesin.
Aku memandang takjub Mas Yono. Kedua tangannya cekatan mengatur kertas, mengisi tinta, memijit tombol-tombol yang menggerakkan robot mesin pencetak buku itu. Udara lumayan panas, kaos Mas Yono basah berkeringat, tapi ia tetap bersemangat.
Sementara, Uda Yahya, sang asisten operator, akan membersihkan mesin saat jeda. Ia juga bertugas memindahkan kertas hasil cetakan, dan menyerahkannya ke bagian lipat, yang nanti meneruskannya ke bagian jahit, bagian lem, bagian penjilidan, bagian potong, bagian pengepakan, bagian pemasaran, dan seterusnya sampai kelak dipajang di toko-toko buku serta menghiasi rak-rak perpustakaan dan meja pembaca.
Sesekali aku membantu melipat sambil bercengkerama. Sudah lumayan terampil, setelah enam bulan membiasakan.
Kalian harus berterima kasih pada Johannes Gutenberg. Ia penemu teknologi mesin cetak ini. Konon, ia menciptakannya karena kepepet memenuhi kebutuhan hidup. Berkat itu, Mas Yono dan Udah Yahya bisa berkontribusi mencetak buku.
Buku-buku inilah yang kelak berkontribusi mencerdaskan kehidupan bangsa, menjadi teman pelajar, menjadi perantara mahasiswa memperoleh beasiswa, membantu politisi menjadi menteri, atau menghantarkan dosen menjadi profesor. Ada juga yang menjadikannya sekadar ganjal dan bantal.
Mas Yono tak merasa perlu membaca buku-buku yang dicetaknya, apalagi memeriksa isinya. “Kita mah ngikut yang di atas saja!” kata Mas Yono suatu ketika.
Proses pracetak buku memang dilakukan di lantai dua, ada kurang lebih lima karyawan yang bekerja. Draft naskah harus sudah bersih, tidak ada koreksi lagi. Setelah itu masuk tahap layout, digunting per halaman, disusun dengan rumus tertentu, dan ditempel di atas kertas berukuran satu meter persegi, untuk menjadi pola membuat film dan plat.
Saat senggang, Pak Masdar di bagian layout mengajariku teknik montase itu. “Siapa tahu suatu saat berguna, mungkin kamu akan perlu melayout buku”, katanya.
“Maaf, aku tidak ingin menjadi tukang layout, Pak”, sering aku menjerit dalam hati. Aku ingin menjadi mahasiswa, membaca buku-buku yang kalian cetak, bekerja di kantoran, mendapat gaji besar, dan bisa membantu Mimih agar setiap bulan tidak mencatatkan tambahan hutangnya di warung Ceu Emi, tetangga rumah di Pasapen yang baik hati itu.
Tahun depan adalah harapanku yang terakhir. Ijazah Madrasah hanya berlaku maksimal tiga tahun sebelum memasuki masa kadaluwarsa!