Alhamdulillah, segala puji senantiasa kita panjatkan ke hadlirat Allah Yang Maha Baik, yang telah memberikan nikmat tak terhingga, memberikan kesempatan kita hidup di dunia hingga saat ini. Tentu kenikmatan ini harus kita syukuri tanpa batas dan tanpa tapi, karena dengan sifat Rahman Allah selalu memberikan kita kenikmatan tanpa batas dan tanpa tapi. Untuk itu mari kita budayakan terus berbagi, terutama berbagi inspirasi.
Pada sharing kali ini, saya hendak berbagi cerita yang ditulis bukan oleh saya, tetapi oleh paman saya yang ditulisnya di akun Facebook beliau (sudah atas izin beliau). Paman saya ini selalu menjadi inspirasi di keluarga kami karena kesuksesannya yang luar biasa, tentu semua terjadi atas kehendak Allah dan doa orang tuanya. Cerita yang ditulisnya ini merupakan real story, kisah nyata yang mengantarnya kepada kesuksesan saat ini. Sengaja ditulis ulang disini agar selalu menjadi bahan inspirasi dan menjadi manfaat banyak orang.
Silakan disimak, diikuti dan jangan lupa komentarnya, titipkan juga jejak email Anda di kolom yang ada agar tidak ketinggalan cerita bersambungnya.
September 1988
Terik matahari siang ini sangat menyengat, melebihi kebiasaannya memanaskan bumi. Aku turun dari pintu Mikrolet M11 jurusan Kebon Jeruk-Tanah Abang. Ini adalah perhentian terakhirnya, sebelum sang kenek kembali memamerkan suaranya mengundang penumpang. Aku naik bukan sebagai penumpang. Sopirnya membutuhkan sebatang rokok yang aku jajakan.
Memasuki Pasar Tanah Abang ini, Mikrolet dan Metromini harus berjalan pelan, berdesak-desakan dengan penjual kaki lima yang menawarkan aneka minuman dan makanan. Itu adalah kesempatan baik buatku untuk naik turun menawarkan sebatang rokok ke para supir dan kenek.
Para kuli keluar masuk pasar memikul karung di punggungnya. Kulit mereka semakin hitam. Bagiku, sopir-sopir dan para kuli itu adalah sumber rejeki yang menguntungkan. Mereka tak pernah mampu membeli rokok bungkusan, hanya batangan. Dan itu berarti menggandakan marjin laba yang aku dapatkan.
Aku menghindari para perokok berdasi. Kalau mereka membeli sebungkus rokok, maka hanya empat ratus rupiah aku dapatkan. Padahal aku bisa mendapatkan tambahan dua ratus rupiah jika menjual ke para sopir, kenek, dan kuli itu.
Kala matahari sudah tepat memayungi kepala, itu pertanda alam aku harus mulai kembali menyusuri jalan pulang. Jalan ini sudah lebih dari 20 kali aku lewati. Papan nama “Toko Arloji” di sebelah kanan jalan itu juga pertanda aku bisa sejenak melepas penat. Dibanding toko lainnya, atap Toko Arloji ini lebih menjorok ke depan, cukup untuk menahan sengatan matahari.
Jarum panjang jam besar di Toko Arloji ini sudah menunjuk angka 9. Jarum pendeknya sudah mendahului nyaris merapat ke angka yang duduk paling menjulang, 12! Aku selalu mengagumi jam besar berwana coklat tua di Toko yang setiap hari aku lewati ini. Bentuknya kekar, badannya tinggi besar seukuran orang dewasa. Enci pemilik Toko seakan sengaja memajangnya paling depan, mungkin sebagai daya tarik calon pembeli, atau mungkin jam itu ditugaskan mengawasi kalau-kalau ada tangan jahil merampas salah satu jam kecil yang berjejer di etalase pajangan. Maklum, ini Pasar Tanah Abang!
Bukan jam besar itu saja yang setiap hari aku kagumi di Toko Arloji ini. Seorang gadis remaja Tionghoa yang duduk di belakang etalase jam itu selalu menjadi daya tarik tersendiri. Badannya ramping, kulitnya putih bersih, matanya sipit dengan alis tipis melintang di atasnya, dan rambut hitamnya dikepang dua. Keringat akibat terjangan udara panas tidak menghilangkan kecantikannya. Ia selalu menebar senyum, memamerkan lesung pipitnya kepada siapapun yang melihat-lihat dagangannya. Kepadaku ia juga tersenyum, meski ia tahu aku melirik tokonya hanya untuk memperhatikan kedua jarum jam berwarna coklat itu, bukan untuk berbelanja. Harga jam itu bisa mengeruk isi tabungan yang aku kumpulkan berbulan-bulan.
“Sudah mau pulang, Mas?” aku berhenti sejenak saat Enci menyapa dengan logat Tionghoanya yang kental.
“Iya, Ci, seperti biasa, kan sudah siang, perjalananku masih setengah hari untuk pulang”. Diam-diam sudut mataku tak lepas dari senyum gadis Tionghoa itu.
“Bagaimana dagangan kamu hari ini, banyak laku?”
“Lagi sepi, Ci, kurang dibanding kemaren” Kuletakkan gendongan rokok yang sejak pagi membebani tengkuk dan dada ini. Seteguk air putih membasahi kerongkongan.
“Hari ini memang panas sekali, pengunjung pasar lebih sepi dari biasanya.”
“Iya Ci, tapi ya lumayan lah daripada tidak dapat sama sekali” bibirku bergetar mencoba menahan kegetiran.
Kurogoh kantong celana. Beberapa keping koin dan kertas rupiah yang sejak pagi berdesak-desakan, berebut keluar dari persembunyiannya. Warna merah di uang kertas bergambar burung Cendrawasih itu kini bercampur hitam. Aku harap Arifin R Siregar tidak akan marah karena namanya yang tercetak di bawah paruh burung Cendrawasih itu hampir tidak terbaca lagi. Tapi ia tetap Gubernur!
Keping koin seratus rupiah mendominasi, warna peraknya ternodai keringat dan debu yang menempel, gambar rumah adat dengan atap melengkung itu kelihatan menjadi tidak indah lagi, tapi ujung tiga atapnya yang terletak di kedua sisi, tetap runcing dan menjulang ke langit.
Aku tidak mengerti, gambar rumah macam apa yang dicetak dalam keping koin ini. Bentuknya sangat berbeda dengan rumah-rumah yang ada di Kuningan sana, kampung halamanku. Gambar sebaliknya lebih aku kenali, gunungan wayang! Aku sering melihat benda semacam itu saat nonton Wayang Golek di TVRI. Ah, peduli amat, yang aku paham, uang koin bergambar rumah-rumah dengan atap melengkung dan gunungan wayang itu adalah hasil penjualan 3 batang rokok dalam gendongan.
Enci mengalihkan perhatiannya pada seorang pria paruh baya yang menghampiri dagangannya.
“Ling, tolong ambilkan tuh yang paling bagus” Ia menunjuk beberapa jam tangan yang duduk berjejer dalam kasta teratas etalase kaca. Sambil tertawa kecil manja, aku lihat gadis berkepang dua yang dipanggil Ling itu mengambilkan beberapa model jam tangan untuk diperlihatkan. Syukurlah, mereka punya calon pembeli!
Di suatu hari yang lain, sambil mengusap keringat dan mengistirahatkan kaki, aku pernah punya waktu lebih luang berbincang dengan Enci. Ia sudah sepuluh tahun berjualan di Tanah Abang. Dulu, anak satu-satunya yang bernama A Ling itu baru masuk sekolah SD, tapi setiap pulang sekolah ia tidak langsung pulang ke rumah, melainkan menemaninya menunggui Toko Arloji. Rumah mereka memang tidak jauh, di Petamburan, yang setiap hari juga aku lewati. Kebiasaan A Ling itu berlanjut saat kini ia duduk di bangku SMA.
Kokoh, suami Enci, menunggui toko arloji lainnya di Pasar Senen, entah berapa jauh jaraknya dari Pasar Tanah Abang. Katanya di Pasar Senen lebih ramai. Selain jam tangan, toko Kokoh di Pasar Senen juga menjual kacamata.
Atap Toko Arloji ini sejenak melindungiku dari terik matahari. Aku manfaatkan untuk menghitung jumlah koin yang bergambar rumah dengan atap melengkung. Aku membalik salah satu logam lainnya. Kusempatkan membaca tulisan yang tercetak melingkar: HUTAN UNTUK KESEJAHTERAAN. Ah, apa pula itu? Aku tidak paham apa-apa tentang hutan, aku hanya mengerti nilai angka yang tertulis di bawahnya: Rp100! Semakin banyak logam semacam ini kukumpulkan, semakin cepat aku bisa membuktikan kepada Bapak dan Mimih di kampung halaman bahwa aku bisa membayar sendiri biaya pendaftaran kuliah di IAIN Jakarta yang sudah lama aku idamkan.
Ah, aku ingat, bukankah di Theater Djakarta tadi seorang berdasi membayar dua bungkus rokok Gudang Garam dengan lembaran kertas seribu rupiah?! Aku memang tidak bisa juga menolak pembeli “grosiran”, meski untungnya jadi pas-pasan. Di mana gerangan lembar uang kertas putih bercampur warna abu-abu itu? Mengapa tidak kutemukan dalam gerombolan koin-koin dekil dan uang kertas lusuh ini?
Kubuka bagian dalam gendongan rokokku yang terbuat dari kardus tebal. Ini dia! Rupanya tadi aku manjakan selembar Raja Sisingamangaraja XII ini dan menyimpannya di tempat khusus, terpisah dari koin gunungan wayang dan lembaran burung Cendrawasih. Kelasnya memang sepuluh kali lipat di atas mereka. Harus diistimewakan.
Gambar Raja Sisingamangaraja XII masih sangat bersih, janggut lebatnya tidak rusak akibat lipatan berlebih. Dan, Arifin R Siregar yang tak pernah kukenal itu kini niscaya tersenyum, karena namanya dapat terbaca dengan sangat jelas, berikut tulisan di bawahnya: GUBENUR!
“Aiih, dapat banyak ya, Bang?” A Ling tiba-tiba sudah berjongkok di hadapanku. Senyum manjanya kini hanya satu hasta di depan wajahku.
“Ah, kamu bikin kaget saja, Ling” lamunanku tentang Bapak dan Mimih di Kampung buyar. Juga gambaran tentang Raja Sisingamangaraja XII yang cerita kepahlawanannya sering aku baca saat lebih dari 5 tahun lalu duduk di bangku madrasah PUI Kuningan yang sebagian atapnya ditopang nyaris tumbang.
“Dapat delapan ribu tiga ratus rupiah nih!” gerombolan koin dan uang kertas lusuh itu aku pamerkan di depan A Ling, sambil mengumpulkan dan memasukannya ke dalam plastik putih yang tidak kurang kusutnya, sedang si Raja Sisingamangaraja XII beserta lembaran-lembaran lainnya aku rapihkan, dan kutempatkan kembali dalam kotaknya yang lebih terhormat, di dalam kotak gendongan rokok.
Aku pun pamitan ke Enci dan A Ling untuk melanjutkan lagi setengah hari perjalanan menuju rumah tempatku menumpang. Aku tidak pernah tahu berapa jauh jarak dari Tanah Abang ke rumah kontrakan Kakak Sepupuku di Sukabumi Udik, Kebayoran Lama. Satu hal yang kutahu, kalau kedua jarum panjang dan pendek di jam besar Toko Arloji ini sudah berebut tempat di angka 12, itu tandanya aku harus segera melanjutkan perjalanan, agar bisa sampai di rumah sebelum gelap.
“Tangkaap, tangkaap….”, tetiba terdengar suara lantang perempuan dari seberang. Ah, apa lagi yang terjadi?
Bersambung….
Gambar: www.cermati.com
Oya? Maaf baru dibalas. Kapan ya kak?