Ya, aku belum bisa menerima, bagaimana Tuhan Yang Maha Adil Membiarkan kejahatan menimpa orang kecil sepertiku?
Assalamu’alaikum warahmatullah! Imam sudah menyelesaikan shalatnya, diikuti oleh semua jamaah.
Beberapa saat aku masih dalam sujud, menuntaskan pengaduan. Kuusapkan kedua telapak tangan ke wajah, basah! Air mataku mendesak mengalir keluar sejak aku mulai mengadu pada-Nya, menggugat serta mempertanyakan letak keadilan pada Kuasa dan Kehendak-Nya, serta meragukan ketulusan restu Bapak dan Mimih.
Ah! Aku berdosa!
Bagaimana mungkin kuragukan Kuasa-Mu, sedangkan pengetahuanku tentang Kebesaran-Mu tidak lebih besar dari setitik air di lautan? Bagaimana mungkin aku mengadu, sedangkan kualitas penghambaanku saja belum ada setahi kuku? Bagaimana mungkin aku meragukan kasih sayang Bapak dan Mimih, sedangkan sejak lahir mereka juga yang membelai dan merawatku?
Kali ini aku yang sontoloyo!
Ampuni aku ya Allah! Maafkan aku Pak, maafkan aku Mih! aku sudah berburuk sangka pada-Mu, dan kepada kalian berdua! Biarlah urusan gendongan rokok ini aku selesaikan sore nanti dengan sang pemilik modal.
Kuusap air mata. Lelaki setengah baya di hadapanku menyodorkan tangan, kujabat sambil menundukkan setengah badan, etika yang diajarkan Bapak jika bersalaman dengan orang yang lebih tua. Lelaki itu tidak terpancing mempertanyakan mataku yang sembab, mungkin dianggapnya aku sedang menikmati beribadah. Kujabat juga tangan Mang Ujang, ia menatapku agak lama, dan menepuk-nepuk bahuku, hanya dia yang tahu.
“Sabar, Cep, segala sesuatu pasti ada hikmahnya. Masih ada ongkos untuk pulang?”, Mang Ujang dalam bahasa Sunda.
“Aya, Mang. Hatur nuhun”.
Ia melanjutkan shalat sunah. Aku tidak punya keperluan lagi dengannya. Kuraih sandal jepit butut yang tadi kuselipkan di pagar Mushalla. Lapisan karet bawahnya sudah semakin tipis. Aku baru berencana menggantinya akhir minggu ini, saat tabunganku bertambah barang sepuluh atau lima belas ribu rupiah. Tapi kini, aku harus melupakannya.
Aku perlahan meninggalkan Mushalla An-Nur, mungkin juga meninggalkan sang maling yang diam-diam mengintip dan memastikan kepergianku, sebelum ia dengan leluasa melahap hasil buruan haramnya.
Nurustunjung! Batinku masih saja menggerutu.
Tengkuk ini sekarang lebih ringan, tanpa tali gendongan melingkar, bebannya memang sudah pindah ke pikiran. Langkah kaki berat melangkah. Kulit sandal butut menjerit karena kulitnya diseret lebih rapat, beradu aspal panas, menahan beban lebih berat dari biasanya.
Untunglah plastik lusuh berisi gerombolan koin tidak kusimpan dalam kardus gendongan. Kupikir, kelasnya cukup berdesak-desakan dalam kantong celana. Ternyata, koin-koin gambar rumah melengkung dan gunungan wayang seratus rupiah ini tidak lebih rendah kelasnya dari si Singamangaraja XII. Mereka kini justru menjadi juru selamat! Alhamdulillah.
Kurogoh plastik lusuh, kukeluarkan dua koin gunungan wayang dari gerombolannya, 200 perak! Kedua koin itu mungkin menarik napas lega, berpindah tempat naik kelas ke kotak hitam milik sopir Mikrolet M09 jurusan Kebayoran Lama. Entahlah, padahal dalam kotak barunya itu mereka juga tetap saja berjejalan dengan teman-teman yang tidak kurang kumalnya.
Mikrolet merayap teramat pelan. Sopir seperti enggan membawa hanya dua penumpang. Aku, dan lelaki di hadapanku yang tak berhenti menyemburkan asap rokok tebal dari mulutnya. Dari baunya, aku tahu itu rokok kretek yang sering kujual. Ujung api rokoknya tinggal berjarak beberapa milimeter saja dari kulit tangan lelaki itu, pertanda batang rokok itu sudah harus dibuang.
Ia menengok keluar, matanya mencari ke kiri ke kanan. Ia menunggu seorang pedagang rokok mendekat. Sumber rejeki! Naluriku sebagai pedagang rokok berbisik. Kali ini pengasong lain yang mendapatkan. Tuhan memang Mahaadil. Dia Menutup rejeki seorang hamba, tapi juga Membuka rejeki hamba lainnya.
Laju Mikrolet mulai berlari. Penumpang kini bergantian naik turun, entah sudah berapa kali berhenti. Aku tidak lagi peduli. Kusandarkan kepala di sudut jendela, kupejamkan mata. Aku tak perlu lagi melihat tanda di mana harus turun nanti. Setiap bau sudut jalan sepanjang Kebayoran Lama-Tanah Abang ini sudah kuhapal di luar kepala.
Pulang, pikiran melayang. Aku harus menerima kenyataan. Gendongan rokok itu telah berpindah. Cukup sudah, lupakan saja mimpi kuliah…
===
Matahari belum juga condong ke Barat, Ceu Adah terlihat sedang menurunkan satu per satu jemuran pakaian yang sudah mengering. Tita, gadis mungil berumur 2 tahun itu duduk di teras menemani ibunya. Sesekali tangannya melemparkan boneka mainannya, dan meminta ibunya mengembalikan. Tawa renyah terdengar lirih, saat ia berhasil mendapat perhatian.
Tiga rumah petak kontrakan berjejer di Gang al-Ikhlas, Sukabumi Udik, Kebayoran Lama. Satu tahun lalu keluarga A Ihin dan Ceu Adah mengadu nasib di Jakarta, menempati petak nomor dua, dan belum genap 2 bulan aku datang menambah sesak rumah petak itu.
Aku pernah berbincang dengan tetangga di sebelah kiri, namanya bu Nina.
“Ibu kerja di mana?”
“Di Bank di jalan Gadjah Mada, Mas”. Alangkah beruntungnya orang ini, pikirku.
“Tugas hariannya apa, bu?”
“Saya di bagian bunga”.
“Oooh”. Aku tidak melanjutkan. Ia berarti setiap hari bertugas merawat serta menyiram tanaman dan bunga.
Beberapa hari kemudian, teman seprofesi pedagang asongan dengan semangat memberi kabar bahwa ia kini sudah bisa menabung di bank, dan setiap bulan ia menerima keuntungan berupa bunga. Ah, jadi bu Nina bukan penyiram bunga?
Kembali ke A Ihin dan Ceu Adah. Keluarga ini memang terlalu baik untukku. Bermodal nekad, aku tiba di Jakarta awal Agustus lalu. Tekadku sudah bulat untuk mencari bekal biaya ujian masuk kuliah di IAIN (Institut Agama Islam Negeri), Juli tahun depan. Honor pas-pasan A Ihin sebagai guru honorer di SMP al-Ikhlas tidak menyurutkannya untuk membelikanku modal gendongan rokok beserta isinya. Padahal, aku tahu, untuk biaya kuliahnya di Institut Ilmu al-Quran (IIQ) saja ia masih harus lebih keras membanting tulang.
Dan, siang ini, aku menghilangkan modal paling berharga itu. Aku memang tidak berguna!
Perlahan aku memasuki gang kecil Gang Al-Ikhlas, berjalan ragu menuju pekarangan rumah. Dadaku berdegup keras, entah apa yang harus aku jelaskan ke Ceu Adah, yang setiap pagi mengantarkanku dengan mata terisak, dan kini harus mendengar kenyataan bahwa bagian dari harta benda miliknya juga ikut raib gara-gara keteledoranku.
“Mang Encét!” teriakan Tita mengalihkan perhatian Ceu Adah ke arah kedatanganku. Lidah Tita kecil memang belum bisa melafalkan huruf ‘p’, dan menggantinya dengan ‘t’.
“Lho, Mang Encét koq tumben pulang lebih awal? Gendongan rokoknya mana, sudah laku semua?”
Pertanyaan bertubi-tubi yang sudah kuperkirakan. Kurebahkan badan di teras, mataku semakin sembab, sesak tangis sudah meronta hingga tenggorokan. Tita lari mendekat dan melemparkan bonekanya ke dadaku. Wajah polosnya memaksaku tersenyum kecut dan mengembalikan mainan kesayangannya itu ke pelukannya.
“Inna lillah wa inna ilayhi roji’un”, bibir Ceu Adah bergetar, seolah merasakan getir, jengkel, dan putus asa, saat aku ceritakan semua peristiwa yang terjadi siang ini. “ya sudah, nanti kalau Aa pulang kita cari jalan keluarnya”.
Lho, hanya begitu? Tidak ada kejengkelan dan kemarahan lain? Aku sudah siap menerima tamparan sekalipun. Kami menunggu A Ihin pulang.
A Ihin berperawakan kecil, senyumnya selalu mengembang. Ia qari (pelantun seni baca al-Quran) dan sekaligus guru kesenian di sekolahnya. Usianya belum genap 30 tahun. Kini, ia sedang bersiap menyelesaikan skripsinya di Perguruan Tinggi Ilmu al-Quran (PTIQ) tentang kemuliaan al-Quran dari perspektif kesenian.
Malam selepas Isya adalah waktu di mana kami sering menghabiskan waktu bersama, bercerita pengalaman unikku nyantri di pesantren, menghafal kitab-kitab gramatika Arab, mulai dari yang paling dasar, al-Ajurumiyah, Imriti, Yaqulu, hingga kitab tertinggi, Alfiyah ibn Malik.
Di waktu senggang, A Ihin sangat antusias ‘sorogan’ belajar kitab-kitab pesantren tersebut di hadapanku. Sebagai imbalannya, aku mendapat kursus cepat bermain gitar tingkat dasar. Benar-benar dasar, hanya menggerakkan lima jari tangan kanan menari-nari di atas senar, tangan kiri diberi tugas hanya menahan beban pangkal kepala gitar. “Kunci lagu urusan belakangan”, katanya.
Memang tidak banyak kegiatan yang bisa kami lakukan. Acara hiburan yang tersedia di TVRI tidak cukup menghibur kami. Siaran lain di channel baru RCTI pun hanya bisa ditangkap melalui decoder yang harganya masih terlalu mahal untuk orang kebanyakan. Padahal, iklan di koran-koran tentang siaran TV swasta yang mulai mengudara pada jam 17.30 hingga 22.30 itu menjanjikan tontonan dan hiburan yang menggoda.
Malam itu tidak ada agenda sorogan. A Ihin sudah mendengar cerita raibnya gendongan rokok siang tadi. Ia belum banyak berkomentar. Aku hanya bisa menunduk di hadapannya.
Malam hening menambah sepi. Perasaan bersalah menyesaki dada. Sudah dua bulan aku menambah beban hidupnya, menyesaki petak rumah kontrakannya, dan kini aku menghilangkan modal usaha yang dititipkannya. Maling sontoloyo!
“Jalan hidup memang ttidak bisa ditebak, Mang!” A Ihin memulai obrolan dalam bahasa Sunda, mengusir kesunyian. Ia menikahi kakak sepupuku, tetapi ia selalu menggunakan sapaan “Mang”, seolah mewakili Tita, keponakanku. Begitulah cara orang-orang dewasa di kampungku menghormati saudaranya yang lebih muda.
“Aa tahu, Mang Encép sudah berusaha maksimal untuk mengumpulkan biaya masuk kuliah nanti. Tapi, tabungan yang terkumpul sampai hari ini kelihatannya masih jauh dari cukup, apalagi besok mang Encép sudah tidak bisa lagi berjualan rokok”.
A Ihin melirik Ceu Adah yang segera memperlihatkan jumlah saldo di ‘buku kas’ hingga hari ke-25 aku menjalani profesi pedagang asongan: empat puluh lima ribu dua ratus lima puluh rupiah!
“Trus, bagaimana rencana mang Encép sekarang?” Ia bertanya, “Terus terang Aa sudah tidak bisa lagi membantu meminjamkan modal”.
Saya sudah terlanjur basah, A, mau cari usaha lain” aku mencoba tegar, “Rasanya tidak mungkin lagi kembali ke Kuningan. Saya sudah berjanji ke Bapak dan Mimih, tidak akan pulang kampung sebelum bisa mengumpulkan uang untuk biaya daftar kuliah”, kutahan sesak tangis yang kembali meronta.
“Mang Encép tidak ingin bertemu dulu minta doa sama orang tua?” Ceu Adah ikut menimpali. Tangan keibuannya mengusap-usap kepala Tita yang sudah terlelap tidur di pangkuannya.
“Tidak, Ceu, saya tidak mau Bapak dan terutama Mimih mengetahui kesulitanku di Jakarta. Mereka sudah cukup dibuat sulit mengurus sembilan anak-anaknya termasuk diriku, biarlah saya menghadapinya sendiri”, tekadku. “Kalau tidak keberatan, saya minta ijin tinggal beberapa waktu lagi di sini, sambil mencari peluang pekerjaan lain”.
Aku berusaha tegar. Kutunjukkan mata dan bahasa tubuh yang optimis, yakin segera menemukan pekerjaan yang lebih mapan. Peduli amat dengan hatiku yang menjerit. Mereka berdua tidak boleh tahu bahwa batinku meringis, menangisi nasib santri teladan, juara kelas, juara pidato, santri kepercayaan Kyai di Haurkuning, dan penghapal Alfiyah di pondoknya. Kini, semua itu terasa tidak berguna, tidak laku di Jakarta. Menjadi pedagang asongan saja sudah pilihan terbaik, kini harus mulai lagi dari nol. Ibukota terasa begitu keras, dan kejam!
Malam beranjak lebih cepat. Ia seolah enggan lebih lama mendengar keluh kesah. Jarum pendek di jam dinding baru mendekati angka delapan, tapi lampu di kamar tidur keluarga Tita sudah redup, pertanda penghuninya tak mau diganggu.
Jarum panjang terus bergerak, mataku tak kunjung bisa merapat. Batin masih belum puas mengutuk preman dan maling nurustunjung itu. Ia berhasil meluluhlantakkan tekadku untuk kuliah, tekad yang kini berada di titik nadir terendah.
Setan dan roh jahat seolah sedang bersorak, semilir angin tak lagi meneduhkan. Kuintip dari jendela, langit kelam di antara bintang-bintang berserakan. Awan hitam bergerak membentuk rupa durjana, matanya mengintip bumi, menyaksikan seorang anak manusia yang sedang bergelut dengan resah penuh rasa putus asa. Aku rasanya ingin menghilang saja!
Cag!
Bersambung…
Gambar: https://poskota.co.id
Oya? Maaf baru dibalas. Kapan ya kak?