Alhamdulillah sudah 2 episode ditayangkan, dan semoga teman-teman tidak melewatkannya. Gimana tanggapan teman-teman? Bagus ga ceritanya? Kasih komentarnya ya, biar semangat lagi sharing ceritanya. By the way, kalian juga bisa sharing opini dan tulisan karya kalian disini lho. Cek ketentuannya disini ya.
Yuk kita lanjut cerita dongeng si Encep episode 3 berjudul Labil…
“Mang Ujang….mang Ujang….” aku agak gugup memanggilnya. Kemana gerangan gendongan rokokku?
“Lho, tadi kamu simpan di mana, Cep?” Mang Ujang malah balik bertanya, dengan bahasa Sundanya yang kental, saat setengah berbisik aku menanyakan ke mana ia memindahkan gendongan rokokku. Mang Ujang memapahku, ia sepertinya memperhatikan lututku yang gemetar.
“Tadi sih aku letakkan di depan pintu tempat wudlu, Mang”. Aku ceritakan kronologinya ke Mang Ujang, bagaimana awal mula kejadiannya, juga dalam bahasa Sunda.
“Kenapa tidak kamu titipkan ke Mamang atuh? Kayak baru pertama ke sini saja. Orang yang datang ke Mushalla kan tidak semuanya bermaksud baik, kebanyakan sih memang mau shalat, mau ibadah. Tapi ada juga yang niatnya memang mau menukar sandal butut dengan sepatu baru, mau mencopet dompet jamaah yang lengah, atau mengambil apapun yang bisa jadi duit seperti gendongan rokokmu itu. Apalagi ini masih dekat dengan kawasan Pasar Tanah Abang. Sangat rawan. Kumaha si Encép téh!”
Jadi, maling benar-benar telah menggondol gendongan rokokku berikut isinya? Dia mau ambil untung dari gendongan butut itu? Ya Rabb!
Gendongan rokok ada harganya? Atau dia mau juga jadi pedagang asongan? Siapa sih orang yang mau sukarela menggantikan nasibku sebagai pedagang asongan, Mang? Siapa “mangkeluk” yang rela melawan terik panas matahari hanya untuk mendapatkan keuntungan bersih paling banyak seribu lima ratus perak tiap harinya? Siapa sontoloyo yang setiap hari mau berjalan kaki seharian mengukur panjangnya jalan Kebayoran Lama sampai Theater Djakarta?
Siapa bedegong maling yang tega merampas satu-satunya harta benda paling berharga milikku? Apakah orang yang sebangsa dengan pemuda berompi loreng tadi?
Sumpah serapah bercampur unek-unek itu hanya mampu bergema dalam hati.
Ceramah Mang Ujang pasti masih berlanjut kalau saja seorang jamaah tidak mengumandangkan iqamat yang menandakan shalat jamaah akan segera dimulai. Tak ada di antara mereka yang mengetahui bahwa baru saja seorang pedagang asongan kehilangan satu-satunya harta benda yang dimilikinya. Lagian, jamaah yang mendengar percakapan kami juga belum tentu faham bahasa Sunda.
Aku tidak tahu siapa yang tega melakukan perbuatan paling tidak berperikemanusiaan ini! Mungkin orangnya sudah lari ke Pasar Tanah Abang, berpesta menyulut ujung-ujung rokok bersama teman-teman premannya, mengipas-ngipas si Raja Sisingamangaraja XII, serta mencampakkan kardus gendongan lusuh tak berguna itu ke tempat sampah.
Ah, kasihan kau! Atau mungkin juga pelakunya adalah salah seorang yang masih menutupi kejahatannya dengan pura-pura menjadi jamaah Zuhur. Aku pernah mendengar bahwa persembunyian paling aman adalah di tempat yang terang. Konon, banyak juga maling berdasi malah paling rajin bersedekah ke masjid. Siapa tahu?
Seorang berbaju putih maju ke depan dan memberi isyarat sebagai imam. Kopiah hitamnya sedikit didongakkan ke atas. Sorban panjang kombinasi putih hitam melingkar di lehernya. Dari belakang saja wibawanya terasa. Tuhan pasti Menyayanginya. Ia letakkan tasbih yang sedari tadi melekat dalam genggamannya. Allahu Akbar! Takbiratul ihram sang imam menggema.
Seluruh jamaah kompak menimpali, termasuk Mang Ujang. Mulut para jamaah komat-kamit membaca, sebagian merasa cukup dalam hati, sebagian lain suaranya lebih kentara. Semua diam dalam kekhusuan. Aku tenggelam dalam keputusasaan dan pengaduan.
Tuhan! Mengapa dunia ini tidak adil padaku? Mengapa Engkau biarkan santri melarat ini kehilangan satu-satunya harta benda yang menjadi modalnya bekerja? Apa yang akan aku katakan kepada A Ihin, yang telah merelakan sebagian penghasilannya sebagai guru honor, untuk membelikan beberapa slot rokok modal jualan? Tidak cukupkah penderitaanku dipalak si pemuda rompi loreng tadi?
Kalau tahu akan kehilangan satu-satunya harta bendaku di rumah-Mu ini, tak akan sudi aku mampir untuk menghadap dan mendekat kepada-Mu. Bukankah Engkau juga Mahatahu bahwa hanya dengan harta benda itu kugantungkan harapan menjadi mahasiswa, untuk melaksanakan perintah-Mu mencari ilmu? Lalu, untuk apa sekarang aku masih menyembah-Mu? Engkau tidak adil!
Allahu Akbar! Takbir imam sudah masuk pada rakaat ketiga. Raga mengikuti semua gerakannya, tapi tidak dengan jiwaku. Hati dan pikiranku mengadu sejadi-jadinya. Aku bayangkan Dia Wujud di hadapanku.
Maaf, Tuhan! Aku kini sedang kehilangan kepercayaan terhadap-Mu. Keyakinanku terhadap kebenaran ajaran moral At-Talaq: 2-3 sedang goyah. Dengan mendekat kepada-Mu, rejekiku malah raib. Gegara mau menyembah-Mu, jalan keluar untuk bisa kuliah menuntut ilmu kini buntu.
Kepercayaanku terhadap ajaran moral yang selalu didengungkan oleh Bapak juga memudar. Kurang apa aku mendekat dan berdoa kepada-Mu? Mana jalan keluar yang Engkau janjikan? Mana rizki yang katanya akan Engkau berikan sebagai kejutan? Engkau malah membiarkan si maling mengambil satu-satunya harta benda milikku saat ini, Engkau malah pojokkan aku ke jalan sempit, dan semakin mempersulit jalanku meraih cita-cita menjadi mahasiswa?
Pikiranku menerawang jauh ke belakang, apakah ini karena Bapak dan Mimih mungkin tidak sepenuhnya merestuiku hijrah ke Jakarta?
Aku ingat, sejak lulus sekolah dari MAN Cipasung Tasikmalaya di tahun 1987 lalu, Bapak menghendakiku untuk melanjutkan belajar di pesantren saja.
“Kelak kamu harus punya pesantren”, kata Bapak. Aku tahu, alasannya sebenarnya karena tidak ada biaya!
Bapak menghiburku bahwa sarjana juga banyak yang menganggur, kalau lulusan pesantren tidak mungkin menganggur, minimal dia akan menjadi guru ngaji di kampungnya, mengajar membaca alif ba ta tsa.
Aku tak punya pilihan selain menurut saja. Berbekal sekantong beras aku daftar menjadi santri di Pesantren Baitul Hikmah, Haurkuning, Salopa.
Tidak ada sekolah umum di Pesantren ini, untuk mencapainya saja harus naik bukit dengan tanjakan hampir 35 derajat, hanya mengaji, mengaji, dan menghafal kaidah-kaidah tatabahasa Arab, nahwu dan saraf, mulai dari kitab terendah Al-Jurumiyah hingga yang tertinggi, Alfiyah ibn Malik.
Satu tahun kemudian aku sampaikan lagi niat untuk kuliah. Aku jelaskan pada Bapak, teman-teman sekolahku kini sudah duduk di semester tiga di berbagai perguruan tinggi, aku terlalu jauh tertinggal, sebagai mantan juara kelas aku cemburu, dan yang paling penting, aku bosan menjadi santri pesantren!
“Jadi santri di pesantren memang banyak ujian, Cep”, jawab Bapak. “Kalau bosan di satu tempat, ya pindah saja ke pesantren lain. Lagian, Bapak tidak punya uang untuk membiayai kamu”.
Lagi-lagi aku tak punya pilihan. Aku pun tetap menjadi santri, hanya pindah asrama dan ganti kyai, kali ini di Pesantren Miftahul Huda, Manonjaya, masih di Kota Tasikmalaya.
Tiga bulan kemudian aku mengagetkan Bapak dan Mimih. Sore itu aku sudah berdiri di depan pintu rumah. Mereka tahu ini bukan saatnya libur pesantren. Hanya sarung yang terlingkar di pinggang. Tidak ada tas atau tentangan lain di tangan.
Ya, aku minggat dari Pesantren. Selepas shalat Subuh tadi, aku bergegas naik angkot menuju terminal Tasikmalaya, bekal ongkos sudah aku siapkan di celana sejak tadi malam. Hanya sehelai sarung yang kupakai untuk menutupi wajahku saat meninggalkan Pesantren, semua barang lain kutinggalkan. Aku setengah memaksa, meminta izin Bapak dan Mimih untuk mengadu nasib di Jakarta.
Kali ini, dua alasan aku kemukakan: pertama, aku janji tidak akan meminta biaya, dan aku akan berusaha mencarinya sendiri; kedua, aku informasikan bahwa ijazah Sekolahku akan habis masa berlakunya tiga tahun setelah lulus. Artinya, pada tahun ajaran 1990, tidak ada pilihan bagiku selain harus duduk di bangku kuliah. Kalau tidak, aku tidak akan pernah bisa menjadi mahasiswa, dan aku tidak mungkin membantu memperbaiki kesejahteraan keluarga!
Bapak luluh, apalagi Mimih kali ini tegas bersuara mendukung rencanaku. Saat itulah Bapak membacakan At-Talaq: 2-3, yang disebutnya sebagai satu-satunya bekal yang bisa Bapak berikan.
Ah, tidak! Mustahil Bapak tidak merestui hijrahku ke Jakarta, apalagi Mimih.
Raibnya gendongan rokokku tidak mungkin berhubungan dengan ada tidaknya restu mereka berdua. Ini murni karena kekejian si maling sontoloyo nurustunjung itu!
Aku tahu, Bapak dan Mimih selalu ikhlas menyertai anak-anaknya dengan doa.
Tapi, aku belum bisa menerima, bagaimana Tuhan Yang Maha Adil Membiarkan ini terjadi?
Bersambung…
Gambar: FiqhIslam.com
Oya? Maaf baru dibalas. Kapan ya kak?