Tanggapan Penulis:
Pertama, terima kasih buat semua pembaca yang ternyata membaca dengan saksama episode pertama “Dongeng si Encép” yang saya tulis. Awalnya saya tidak ingin menjelaskan bahwa dongeng ini memang “based on true story”, tapi sepertinya hampir semua sudah tahu. Ya sudahlah, tidak apa, semoga menginspirasi…
Mari kita lanjutkan episode 2…
“Tangkaap, tangkaap….”, tetiba terdengar suara lantang perempuan dari seberang. Tangannya tampak menunjuk ke arahku. Ah, apa lagi yang terjadi?
Seorang lelaki dengan ikat kepala tampak berlari tergopoh beberapa puluh meter di sebelah kananku. Tangannya menggenggam tas hitam perempuan. Jelas bukan miliknya. Ia menyelinap cepat ke gang kecil di samping Toko Arloji. Aku tahu, di ujung sana ada “markas hitam,” tempat yang tak pernah ingin aku datangi.
Dua tiga orang berusaha mengejarnya, sementara perempuan paruh baya yang tadi berteriak tampak duduk lesu di trotoar. Ah, pemandangan ini terlalu sering aku saksikan di Tanah Abang. Aku bukan tidak ingin membantunya, tapi aku harus lebih memikirkan keamanan koin-koin yang kukumpulkan. Bayangan menjadi mahasiswa mengalahkan segalanya.
Sore ini, Ceu Adah dan suaminya pasti juga akan menungguku dengan senyumnya di depan teras. Mereka selalu memompa semangat dan menceramahiku agar tidak putus asa mengejar cita-cita menjadi mahasiswa. Mereka mengaku hanya bisa meminjamiku modal gendongan rokok dengan segala isinya, serta menyisihkan 15% dari setiap uang yang dihasilkan, untuk disimpan sebagai tabunganku. Mereka berbaik hati menampungku di rumah kontrakan sederhananya yang berukuran tidak lebih dari 3 x 7 meter.
Sudah terbayang, sore ini Ceu Adah dan A Ihin akan menyambut dengan senyum bahagia karena koin-koin dan lembaran kertas uang yang aku setorkan akan dipimpin oleh si Raja Singamangaraja XII yang masih sangat bersih dan berwibawa.
Ceu Adah biasa membantu menghitung kembali jumlah uang hasil penjualan rokok yang aku dapatkan hari ini, menyisihkan bagi hasil buatku, dan mencatatnya dalam ‘buku kas’ kecil berwarna biru. Di sampulnya tertera: “Simpanan Mang Encep”.
Aku berjalan meninggalkan Pasar Tanah Abang, berbelok ke kanan menyusuri jalan KS Tubun menuju arah Petamburan dan Palmerah. Sesekali aku menghampiri sopir Mikrolet M09 yang berjalan pelan menunggu penumpang, sambil berharap cadangan rokoknya habis sehingga mau bermurah hati menambah lembaran burung Cendrawasihku.
Tapi, kiranya cadangan rokok sopir-sopir itu masih cukup untuk sampai ke terminal akhir di Kebayoran Lama.
Seorang yang mengenakan rompi loreng hijau membuatku bahagia. Ia memanggilku. Ia duduk di bangku kayu di belakang gerobak “Bakso Idaman”. Celana jeansnya robek di lutut, di kepalanya terikat kain lusuh berwarna merah. Bibirnya masih basah dengan sisa kuah bakso yang baru selesai dilahapnya.
“Samsu!” aku paham, ia minta sebatang rokok Dji Sam Soe. Syukurlah, sebatang saja rokok tebal ini laku, koin dengan cetakan burung Cendrawasih akan menambah gerombolan uang recehku. Maklum, jenis rokok kretek ini lebih mahal sedikit ketimbang rokok Djarum dan Gudang Garam. Kucabut sebatang Dji Sam Soe dari bungkusnya yang berwarna hijau muda menyala. Kusodorkan padanya, kunyalakan api untuknya. Aku menunggu bayaran.
“Tunggu apa, kau?” ia malah membentak. Kepalanya dianggukkan ke atas. Ah, aku baru sadar, ia preman Tanah Abang. Ya ya, aku ingat lelaki yang lari tergopoh tadi pun mengenakan ikat kepala yang sama. Mungkinkah?
“Lima puluh rupiah, bang” pintaku pelan.
“Besok aku bayar seratus!! Kau kan tiap hari lewat sini. Abang gak akan kemana-mana. Pergi sana!!” suaranya lebih lantang dari sang perempuan di bantalan trotoar yang mungkin korban si preman ini. Di telingaku, bentakannya bahkan terdengar lebih menggelegar ketimbang petir di siang bolong. Pemerasan!
Aku terpaksa berjalan gontai. Terik panas matahari memang terhalang pohon lebat di pinggir jalan, tapi batinku tersengat lebih panas dan menjerit. Ingin rasanya kubacakan jampi-jampi salawat Tayyibah yang diajarkan Kang Ubaid tiap malam Jumat saat mondok di pesantren Cipasung dulu, lalu kuhantamkan saja telapak tangan ini ke tubuhnya. Meski dari jauh, ia pasti akan terjungkal di bangku kayunya, sementara batang Dji Sam Soe belum tuntas pula ia hanguskan. Ia belum tahu, badan kecilku ini sudah terlatih digebuk balok kayu besar tiap malam Jumat di ruang gelap tempat semedi dulu.
Ia juga pasti belum tahu, guruku, Kang Ubaid itu, seorang jawara gagah perkasa. Ia berguru ilmu di Baghdad. Tiap malam haul Abah Ruhiyat, badannya digilas jeep, dikelilingi cincin api, dan dilecut cemeti. Aku dan para santri lain bersorak gembira, memberi applause dari balkon kamar asrama. Besoknya, para santri biasa menghadap adik Kyai Ilyas itu, dan minta diajari ilmu yang sama.
Tidak! Kang Ubaid mengajarkan untuk menggunakan jampi salawat itu hanya jika diserang musuh, hanya kalau jiwa terancam, karena akibat dari serangan bertenaga salawat ini dapat mencelakakan sang lawan. Si rompi loreng itu belum cukup disebut mengancam jiwaku. Akan kutagih dia besok hari. Ah, itu pun kalau ia panjang umur atau tidak keburu disergap polisi patroli.
Adzan Zuhur mulai berkumandang dari kejauhan. Pasti dari Mushalla An-Nur. Aku sangat hafal suara adzan itu, suara Mang Ujang, pendatang asal kampung halamanku yang sudah 10 tahun bersama istrinya membuka lapak bubur kacang Ijo “Asli Kuningan”, persis di samping Mushalla kecil tempat ia merangkap sebagai bilal.
Sebagai santri jebolan pesantren, aku meyakini bahwa usaha memperoleh kebaikan dunia tidak boleh menghalangi kebutuhan spiritual ruhani dengan beribadah, sebagai bekal untuk kehidupan di akhirat. Tuhan niscaya memberkahi koin-koin dan lembaran rupiah dalam gendongan rokok ini. Aku mempercepat langkah agar bisa ikut berjamaah.
Aku selalu ingat pesan Bapak sesaat sebelum nekad mengembara ke Jakarta, dua bulan lalu, “barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan menyiapkan baginya jalan keluar, dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya”.
Bapak tidak pernah memberitahuku, surat apa dan ayat berapa cuplikan al-Quran yang mengatakan ajaran moral itu, akupun tidak terlalu memikirkannya, hingga suatu siang aku termenung memandang lukisan kaligrafi di sekeliling dinding Mushalla An-Nur, yang menampilkan ayat itu: at-Talaq: 2-3, begitu bunyi catatan kecil di bawahnya.
Kuturunkan gendongan rokok, dan kuletakkan di depan pintu ruang wudlu Mushalla An-Nur. Kupijit-pijit tengkuk yang terasa pegal, kulit di bagian ini jelas lebih tebal dan kasar.
Antrian calon jamaah Zuhur yang mau masuk ke WC semakin ramai, aku terdorong masuk agak ke dalam.
Ah, tali gendongan itu masih terlihat di tempatnya. Aku tidak mungkin menggendongnya ke dalam, terlalu ribet. Lagi pula, apa perlunya mengkhawatirkan gendongan rokok yang kumal tak berharga itu? Takkan ada orang yang membutuhkannya, meski ada si Raja Sisingamangaraja XII dan lembaran uang kertas lain di bawah pengawasannya.
“Pokoknya selalu tawakkal kepada Allah”, begitu juga pesan Bapak.
Keluar dari WC, aku langsung mengambil air wudlu di kran yang terletak di sampingnya, lalu kembali keluar untuk mengambil gendongan rokok, dan mengikuti shalat Zuhur berjamaah.
Dadaku terkesiap! Aku tidak melihat gendongan rokok di tempatnya semula. Ah, pasti Mang Ujang memindahkannya ke dalam, dia lebih dari tahu bahwa gendongan rokok itu adalah milikku. Hampir setiap siang aku meletakkan gendongan itu di karpet Mushallanya, saat aku shalat berdiri berjamaah di sampingnya.
“Mang Ujang….mang Ujang….” aku agak gugup memanggilnya. Kemana gerangan gendongan rokokku?
Bersambung….
Gambar: komunitaskretek.or.id
Oya? Maaf baru dibalas. Kapan ya kak?