Negara Bisa Bangkrut Karena Merawat Perokok

Loading

Kampanye mengenai kerugian akibat penyakit terkait rokok (PTR) tidak pernah akan berhenti, apalagi menurut data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO), rokok merupakan faktor pendukung penyakit tidak menular terbesar yang mengakibatkan 63% kematian di dunia. Dari grafik kecenderungan peningkatan jumlah kematian akibat rokok di dunia, kematian akibat rokok sepanjang abad 20 mencapai lebih kurang 100 juta kematian, dan diperkirakan akan meningkat 100 kali menjadi 1 milyar kematian akibat rokok pada abad 21, jika tidak ada keseriusan dalam pengendalian rokok. Tentu pengendalian rokok ini tidak hanya upaya pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan tentang rokok, namun lebih kepada meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya dan kerugian akibat rokok.

Diketahui bahwa penghasilan negara dari cukai tembakau adalah sebesar 55 triliun rupiah, namun ini jauh lebih rendah dibandingkan beban masyarakat untuk perawatan penyakit terkait rokok. Mengutip data dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan, pengeluaran makro untuk tembakau pada tahun 2010 sebesar 245,41 triliun rupiah. Pengeluaran ini meliputi pembelian rokok 138 triliun rupiah, biaya perawatan medis 2,11 triliun rupiah, dan kehilangan produktivitas karena morbiditas-disabilitas hingga 105,3 triliun rupiah. Sementara pada tahun 2011, biaya perawatan penyakit terkait rokok mencapai 39,5 triliun rupiah. Padahal itu baru dari tiga jenis PTR, yaitu penyakit paru obstruktif kronis, jantung iskemik, dan kanker paru, belum termasuk gangguan kehamilan dan janin. Untuk diketahui bahwa saat ini ada 42 jenis PTR yang menyerap hingga 30 persen dari dana kesehatan. Pemborosan yang tidak perlu, bukan?!

Melihat angka-angka rupiah di atas, bisa kita bayangkan jika semuanya ditanggung pemerintah, maka bisa dipastikan negara bisa bangkrut karena merawat perokok. Adanya usulan agar perokok aktif harus menanggung biaya pengobatan PTR-nya sendiri dengan asuransi komersial, ternyata ditentang karena faktanya perokok aktif kebanyakan adalah penduduk miskin yang bekerja sebagai petani, nelayan dan buruh. Inilah yang repot, karena kalangan penduduk miskin tersebut kebanyakan adalah penduduk dengan latar pendidikan rendah, bahkan terkadang sulit diajak mengerti mengenai bahayanya merokok. Dengan alasan klasik, seperti sulit berhenti merokok karena sudah kecanduan dan tidak ada kesibukan lain selain mengepulkan asap rokok, menjadikan mereka sulit diajak untuk berhenti merokok. Walaupun demikian, tidak hanya kalangan penduduk miskin yang menyumbang perokok aktif terbanyak, kalangan penduduk menengah ke atas hingga penduduk dengan latar pendidikan tinggi sekalipun seringkali terlihat tidak kuasa menghindari godaan untuk menghisap rokok, padahal mereka tahu benar apa dan bahayanya merokok. Naif sekali, bukan?!

Sekedar informasi bahwa menurut data Global Adult Tobacco Survey (GATS) tahun 2008-2012, Indonesia menduduki peringkat pertama dalam hal konsumsi rokok pada laki-laki sebesar 67,1%, sedangkan yang kedua diduduki oleh Rusia (60,6%). Sementara pada perempuan, Indonesia menduduki peringkat ke-14, setelah Thailand dan Mexico.

Data lainnya, Indonesia menduduki peringkat ke-5 dalam hal kurangnya pengendalian paparan rokok di tempat kerja, artinya masih banyak tempat kerja yang tidak menyediakan area khusus untuk merokok sehingga asapnya bebas berkeliaran dan terhirup oleh orang lain yang tidak merokok.

Kemudian, Indonesia juga menduduki peringkat ke-18 dalam rasio berhenti merokok, sangat rendah yaitu 9,5% saja. Sementara dalam hal kesadaran untuk berhenti merokok karena label peringatan pada kemasan rokok, Indonesia menduduki peringkat ke-17, hanya sekitar  29,2% saja. Artinya label peringatan larangan merokok di Indonesia bisa jadi kurang menyeramkan, sehingga angka ketakutannya juga rendah.

Contoh Label Peringatan Rokok di Malaysia

Nah, dari data-data tersebut jelaslah jika tidak ada action yang adekuat, maka negara bisa bangkrut karena merawat perokok. Diperlukan pengendalian rokok dan penanganan medis PTR yang integratif, melibatkan komunitas, pemegang kebijakan, media, dan para pakar terkait. Seluruhnya perlu bekerjasama untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya dan kerugian akibat rokok. Sudah saatnya kebijakan pengendalian rokok benar-benar diterapkan tanpa pandang bulu. Dimulai dari peringatan yang lebih keras lagi dengan label yang lebih menyeramkan, mengurangi iklan rokok yang menyesatkan (saat ini menurut saya, iklan rokok semuanya menyesatkan), aturan mengenai harga rokok, dan denda bagi pembuang asap dan puntung rokok sembarangan.

Bisa jadi usulan mengenai penanganan PTR seharusnya dibebankan kepada industri rokok diterapkan, karena merekalah yang meraup keuntungan besar dari penjualan rokok. Jika ada orang sakit yang benar-benar terbukti terkait dengan rokok, industri rokok harus menanggung biaya orang tersebut.

Untuk meredam peningkatan rokok dari generasi muda, usulan mengenai peningkatan harga rokok secara signifikan juga harus dipertimbangkan, sehingga rokok akan tidak terbeli oleh para remaja.

Mudah-mudahan celotehan ini bisa dipertimbangkan oleh pihak-pihak terkait dan menggugah kalangan perokok aktif untuk menghentikan kebiasaannya yang sangat buruk. Jika ada usulan-usulan lain terkait pengendalian rokok dan penanganan PTR, agar negara tidak bangkrut karena merawat perokok, mari kita diskusikan disini.

One thought on “Negara Bisa Bangkrut Karena Merawat Perokok

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to TOP