Bakteri Enterobacter sakazakii saat ini sedang naik daun. Mengapa tidak? Karena sejak tahun kemarin isu keberadaan bakteri tersebut dalam susu formula sempat membuat banyak orang tua panik. Namun tidak segera diumumkannya susu formula yang mengandung bakteri Enterobacter sakazakii tersebut oleh pemerintah, membuat orang tua semakin resah, padahal penelitian tersebut sudah dimulai sejak 2003 hingga 2006. Seharusnya memang produsen susu sudah mengambil langkah-langkah perbaikan dalam setiap kemasan susu formula mereka.
Sebetulnya apa sih bakteri Enterobacter sakazakii itu? Bagaimana sifatnya sehingga menjadi heboh karena diduga berbahaya?
Bakteri Enterobacter sakazakii atau sesuai penamaan baru disebut Cronobacter sakazakii, adalah salah satu jenis bakteri patogen yang bisa menimbulkan penyakit. Sesuai namanya, enterobacter, bakteri ini juga ditemukan di dalam saluran pencernaan manusia dan hewan.
Menurut para ahli, E. sakazakii ada dimana-mana, termasuk di udara. Karena itu sumber pencemarannya pun bisa dari mana-mana. Hingga saat ini belum diketahui dosis infeksius bakteri ini hingga dapat menimbulkan penyakit.
Selain pada susu formula, E. sakazakii banyak ditemui dalam berbagai produk olahan pangan lain, seperti keju atau roti fermentasi.
Menurut Ketua Umum IDAI, bakteri ini dapat menyebabkan radang selaput otak atau meningitis, bakteriemia, sepsis, radang usus halus dan usus besar, hingga kematian sel. Bakteri ini dapat menyerang semua kelompok usia, namun bayi adalah kelompok yang paling rentan. Berdasarkan publikasi WHO pada tahun 2004 disebutkan bahwa sejak tahun 1961-2003 hanya ditemukan 48 bayi yang sakit karena terinfeksi E. sakazakii.
E. sakazakii dalam Susu Formula
Susu formula adalah susu yang diperuntukkan sebagai makanan khusus bagi bayi karena kesesuaiannya untuk pengganti air susu ibu (ASI). Namun perlu ditekankan bahwa susu formula ini hanya bagi bayi hingga usia 12 bulan. Susu untuk anak balita tidak disebut susu formula.
WHO dalam Petunjuk Penyiapan, Penyimpanan, dan Perlakuan Susu Formula (2007) menyebutkan bahwa, tidak ada susu formula yang 100% steril. Hal ini berlaku juga untuk semua makanan olahan, oleh karena itu setiap produksi makanan olahan selalu mencantumkan masa kadaluwarsanya. Potensi pencemaran susu formula terhadap bayi semakin besar jika proses penyimpanan dan penyiapan bayi tidak memenuhi syarat yang sehat. Apalagi bila sudah mendekati masa kadaluwarsa, jumlah bakteri dalam makanan pun semakin besar.
Jadi, pada intinya bisa saja pencemaran bakteri E. sakazakii pada susu formula itu terjadi pada saat penyiapan dan penyimpanan susu formula, serta pemberian susu formula kepada bayi. Hal inilah yang sulit dipantau di masyarakat, kecuali pada saat bayi tersebut sakit selama konsumsi susu formula tersebut baru bisa diperiksa baik melalui darah, urine, maupun feses bayi beserta susu formulanya.
Jadikan ASI Yang Lebih Utama
Mau tidak mau kasus susu formula berbakteri ini menjadi bahan pembelajaran untuk kita semua, bahwa bayi itu sebaiknya diberi ASI. Program ASI Eksklusif bagi bayi baru lahir hingga usia 6 bulan dan dilanjutkan dengan menyusui hingga 2 tahun masih merupakan pilihan terbaik yang harus diperhatikan. Jika ASI tidak langsung keluar setelah melahirkan, orangtua maupun petugas medis tidak perlu buru-buru memberikan susu formula kepada bayi. Bayi punya daya tahan hingga 3 hari sejak dilahirkan tanpa ASI dari ibunya. ASI adalah susu terbaik, bukan saja karena kandungannya, tetapi juga kemasannya yang super-steril.
Selama proses menunggu itu sebaiknya bayi terus didorong untuk mencecap payudara ibunya. Cara ini dapat merangsang keluarnya ASI dan semakin mendekatkan hubungan batin ibu dan bayi. Selain itu, ibu juga harus yakin akan keunggulan dan kecukupan kandungan ASI-nya. Kenaikan berat badan bayi setiap bulan menandakan kecukupan ASI. Bayi lebih sering lapar adalah wajar, karena ASI lebih mudah dicerna dan lambung lebih cepat kosong.
Bila ada alasan medik tertentu sehingga bayi terpaksa mengonsumsi susu formula, maka orang tua tidak perlu waswas. Asalkan prosedur penyiapan, penyimpanan, dan perlakuan terhadap susu formula sudah benar dikerjakan, insya Allah kontaminasi bakteri seperti Enterobacter sakazakii pun bisa diminimalisir.
trima kasih atas tulisannya, mba, jadi lebih tercerahkan nih sekarang
lalu ada yg bilang bahwa dengan panas 75 derajat celcius, bakteri tersebut sudah mati, apakah itu benar adanya? trims ^^
Benar sekali. Silahkan baca di artikel berikutnya ya. Terima kasih.
terima kasih atas infonya..:)
makasih bgt ya sodara,atas infonya,jd cerah nih skrg…oya mau tanya lg nih,kalo ASI nya cm malam doang trus siangnya SU-FOR gmn ya? (saya PNS,kerja dr jam 8 s/d 4 sore)
tq lagi…!
Banyak solusinya bu. Kalo ibu punya freezer atau lemari es, bisa dimanfaatkan untuk mengawetkan ASI. Jika ASI ibu berlimpah, silahkan diperas dan tampung dalam botol-botol yang dibagi sesuai dengan kebutuhan sekali minum si bayi. Lalu simpan pada suhu berikut :
– suhu 19 – 25 celcius : ASI bisa tahan 4-8 jam (ini biasanya suhu kamar)
– lemari ES pada suhu 0 – 4 celcius : ASI bisa tahan 1 sampai 2 hari (ini kalo tidak salah di bagian chiller/bawahnya freezer)
– suhu di bawah 0 : bisa tahan 2 bulan (di dalam freezer 1 pintu)
Harus diperhatikan juga bahwa cara menggunakannya mendahulukan botol ASI yang disimpan terlebih dahulu (jadi perlu diberi tanda/nomor), dan dihangatkan terlebih dahulu pada saat akan diberikan ke bayi. Cara menghangatkannya :
– setengah jam sebelum ASI di gunakan, keluarkan dari lemari es sampai cair. Lalu ambil secukupnya sesuai keperluan minum bayi. Jangan menghangatkan seluruhnya.
– Setelah ASI cair lalu rendam botol ASI ke dalam wadah berisi air panas (ASI jangan sekali kali di rebus)
– Teteskan sedikit ASI di punggung telapak tangan untuk mengetahui apakah sudah hangat.
– Berikan ASI sampai habis
– Sisa ASI yang sudah di hangatkan sebaiknya harus habis, tidak boleh dimasukkan lagi ke dalam lemari es.
Jadi tidak ada alasan tidak bisa memberikan ASI walaupun bekerja. Jangan pernah membuang-buang ASI ya.
Semoga bermanfaat.
I love this blog! Keep it up.
=) <3 <3 <3
Thank you 🙂