Doksisiklin Efektif Untuk Filariasis di Asia Tenggara

Loading

Studi terbaru menunjukkan bahwa doksisiklin tunggal lebih efektif untuk bentuk filariasis yang paling sering ditemui di Asia Tenggara, dibanding terapi standar.

Doksisiklin bekerja terhadap bakteri simbiotik yaitu Wolbachia yang hidup dalam cacing filaria. Jika bakteri tersebut dibunuh oleh antibiotika, maka cacing tersebut juga mati. Sebelumnya, doksisiklin telah dibuktikan efektif terhadap filariasis yang disebabkan oleh Wuchereria species. Meskipun demikian, lebih dari kasus filariasis di Asia Tenggara disebabkan oleh Brugia species. Karena itu, tim peneliti Indonesia menyelidiki apakah doksisiklin juga efektif terhadap spesies ini, dan apakah efek sampingnya juga lebih kecil dibanding terapi standar.

Studi yang dipimpin oleh dr. Taniawati Supali, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, dilakukan secara tersamar ganda, dengan randomisasi dan kontrol placebo pada 161 pasien yang terinfeksi B. malayi yang diberi doksisiklin (100mg/hari) selama 6 minggu. Empat bulan setelah mendapat doksisiklin (119) atau plasebo (42), pasien mendapat dietilkarbamazin (6 mg/kg) ditambah albendazol (400 mg) atau plasebo. Efek samping dinilai 48-60 jam setelah pemberian dietilkarbamazin-albendazol.

Setelah 4 bulan pengobatan dengan doksisiklin, jumlah Wolbachia menurun sebesar 98%. Pengobatan doksisiklin menurunkan prevalensi mikrofilaremia pada bulan kedua, keempat, keduabelas pemantauan (p<0,001). Pada pemantauan setelah 1 tahun, prevalensi ini menurun sebesar 77% dan 87,5% pada pasien yang mendapat doksisiklin tunggal atau doksisiklin ditambah dietilkarbamazin-albendazol. Sebaliknya penurunan mikrofilaremia pada kelompok yang mendapat plasebo ditambah dietilkarbamazin-albendazol hanyalah 26,7%.

Hampir 34% pasien yang mendapat dietilkarbamazin-albendazol mengalami efek samping berat termasuk demam tinggi, sedangkan tidak satupun pasien mengalami efek samping berat dengan doksisiklin. Pada kelompok pasien yang mendapat kedua jenis regimen, efek samping berat ditemukan pada 16% pasien.***

Sumber : Clinical Infectious Diseases, 2008; 46: 1385-1393

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to TOP