Sakit Hati Bisa Menjadi Koma

Loading

Ternyata tidak selamanya ruangan ICU dipenuhi oleh kasus mencekam, terkadang kasus “aneh dan lucu” pun dapat terjadi disitu. Seperti yang diceritakan oleh sejawat dr. L. Paskah S, seorang dokter jaga ICU RS. Martha Friska Medan, dalam Majalah Dokter Kita bulan ini.

Suatu waktu masuklah pasien baru ke ruang ICU tempat saya bertugas, seorang wanita usia 27 tahun dengan riwayat kejang tiba-tiba beberapa jam yang lalu dan sekarang koma. Menurut keterangan si suami, istrinya tersebut awalnya mual dan muntah setelah makan tiga buah mangga muda. Selain itu sudah dua bulan belakangan ini si istri sering demam tidak jelas, lemas dan jarang makan.

Awalnya saya fokus untuk melakukan perbaikan terhadap gangguan elektrolit berat yang diderita oleh pasien karena memang hal tersebut dapat menimbulkan gangguan kesadaran dan kejang. Setelah hasil laboratorium elektrolit dan analisis gas darah menunjukkan sudah terkoreksi, kesadaran pasien belum kunjung membaik dan sekarang malah demamnya bertambah tinggi. Saya bersama dokter intensivis terkait akhirnya harus memutar otak kembali mengenai penyakit pasien.

Kami mempertimbangkan kemungkinan pasien mengalami penyakit yang memang gejalanya bermacam dan sulit didiagnosis dengan pemeriksaan awal saja, contohnya meningitis (infeksi pada selaput otak) ataupun HIV-AIDS. Apalagi mengingat penampilan si suami yang perawakannya sangar seperti preman karena badannya dipenuhi tato serta di wajah dan kepalanya tampak beberapa bekas jahitan luka, bisa jadi pasien mengalami penyakit yang ditularkan oleh suaminya.

Saya pun kemudian memberanikan diri untuk menganamnesis si suami mengenai riwayat kontak dengan narkoba suntik atau berhubungan dengan WTS, untuk dapat menemukan kemungkinan penularan virus HIV. Tentu saja saya tidak boleh asal bicara karena pria di hadapan saya sungguh terlihat menyeramkan, salah-salah bicara saya bisa menjadi pasien baru di ICU !

Dimulai dengan tahapan membina rapport (hubungan baik) terlebih dahulu. Cara tersebut sukses saya lakoni sehingga banyak keterangan yang saya dapatkan, misalnya ia memang seorang preman tersohor, hobinya mabuk-mabukan, main WTS dan memang ada riwayat memakai narkoba namun bukan jenis suntik. Ia juga mengatakan bahwa beberapa hari sebelum istrinya kejang mereka sempat cekcok dan ia sempat mengusir istrinya dari rumah. Saat saya menanyakan apakah ia sering memukul istrinya (terutama pada kepala), ia menyangkalnya.

Nah, keanehan dimulai saat keesokan paginya. Si suami pagi-pagi sekali sudah mencari saya karena ada sesuatu hal yang sangat penting yang ingin ia bicarakan. Ia datang dengan tergopoh-gopoh menghampiri saya dan langsung membuka percakapan dengan seribu permintaan maaf. Ia mengatakan bahwa ia telah berbohong dan mengakui bahwa ia memang sering menjambak kepala istrinya. Kelakuannya yang semena-mena itu terakhir dilakukan tepat satu hari sebelum istrinya masuk rumah sakit.

Setelah mendengar cerita versi jujur itu, selanjutnya tentunya beralasan jika saya meminta dilakukan CT-Scan kepala pasien dengan kecurigaan adanya kelainan karena kekerasan dalam rumah tangga tersebut. Ketika meminta persetujuan si suami beberapa waktu kemudian, ia tidak setuju karena menurutnya tidak akan ditemukan apa-apa di pemeriksaan darah maupun kepala istrinya karena jelas-jelas istrinya seperti sekarang ini disebabkan sakit hati semata terhadap dirinya.

Untuk itu ia terus berada di samping istrinya sambil membisikkan kata maaf di telinga istrinya sembari minta saya turut membujukistrinya untuk memaafkan dirinya. Semakin bingunglah kami di ICU terhadap tingkah laku keluarga pasien yang satu ini. Apalagi di dunia media tidak jelas bagaimana caranya pasien koma bisa sadar setelah dibisikkan kata maaf semata.

Dengan bujuk rayu yang sabar, akhirnya si suami setuju untuk dilakukan CT-Scan pada istrinya. Hasil pemeriksaan CT-Scan ditemukan adanya edema (pembengkakan) otak menyeluruh disertai darah hipodens (iskemik) luas di otak sisi kanan yang menandakan adanya jaringan otak yang mati dan terganggu. Selanjutnya pasien tersebut kami konsultasikan kepada dokter spesialis syaraf.

Dari kasus ini, ada banyak hal penting terkait kebiasaan hidup, budaya dan kronologis kejadian penyakit yang didapatkan hanya melalui anamnesis lengkap. Sementara anamnesis yang lengkap hanya bisa diperoleh jika kita sudah membina rapport dengan pasien dan keluarganya, sesuatu hal yang terkadang dilupakan oleh sebagian dokter, termasuk saya.

Bagi keluarga pasien, kasus ini seakan menjelaskan betapa penting keterangan dan kronologis yang disampaikan dari pihak keluarga untuk membantu dokter menegakkan diagnosis dan terapi secara tepat. Hendaknya keluarga tidak malu mengungkapkan atau tidak menyimpan rahasia yang penting sebagai keterangan sehubungan penyakit pasien. Karena rahasia pasien adalah kewajiban para dokter untuk disimpan dengan rapat.

Jadi, apakah ”sakit hati” bisa membuat seseorang jadi koma ? Jawabannya bisa ya, yaitu jika emosi dan tangan pun ikut ”terlibat”.

Artikel ini pun menjelaskan betapa hubungan baik antara dokter serta pasien (dan keluarganya) menjadi sangat penting guna terwujudnya hak dan kewajiban baik dokter dan pasiennya.

Bagaimana tanggapan Anda ?

Reblog this post [with Zemanta]

One thought on “Sakit Hati Bisa Menjadi Koma

  1. bener tuh, sebagai suami harus sayang sama istri dan menjaganya. bukan malah menyakitinya. dan sebagai petugas kesehata,kita harus bs melakukan analisis yang tajam dan pendekatan kpd keluarga. dan akhirnya ibu tsb meninggal dunia dan suaminya menangis menyesali perbuatannya. sesal yang tiada berguna! buat dr paskah,succes selalu yah! semangat! vera,icu mf

    pada Minggu, 29 Mar 2009 21:30:24

    pendekatan petugas kesehatan; dengan analisis medis dan psikologis tentunya. Betul Mbak Vera?!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to TOP